Senin, 11 Februari 2013



Ketika angin berbalik berhembus, awan menggumpal hitam. Titik-titik air jatuh dari langit. Dia mengingatmu… Kamu yang tak pernah mengikuti arus air hujan itu. Dia terdiam sejenak, menuliskan kata hati yang tak tahu apa artinya. Air matanya menetes, mewakilkan seluruh kata yang tak dapat terucap.
Seketika ia melihat bayangan dirimu yang terus mendekat menghampirinya. Sebuah senyum mengembang dari bibir manisnya. Ketika tangan halus itu akan menghapus air mata yang sedang menetes itu, tiba-tiba suara guntur mengejutkannya. Seketika ia tersadar dari khayalan indahnya tentang dirimu. Dan sekarang ia benar-benar tersadar akan segalanya, bahwa; kau hanyalah hidup didalam dunia khayalannya, tidak untuk dunia yang sesungguhnya.


Aku tak mengerti apa yang ku pikirkan. Semakin aku mencari, semakin aku tersesat. Semakin aku berpikir, semakin aku terisak pula. Aku terdiam dan berpikir. Untuk apa aku lakukan semua ini? Untuk sesuatu yang nyatakah? Atau hanya sekedar menghiasi alam bawah sadar ku saja?
Sekarang aku merasa sendiri. Walau nyatanya semua masih seperti biasa. Hanya hati yang bisa merasa dan mata yang menampilkan gambarannya. Mulut hanya bisa terdiam ketika tangan tak mampu lagi mengepal. Kini semua pergi. Kini semua menghilang. Dan aku? Akankah terus disini? Aku tidak tahu, karena aku tidak peduli.


Setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Setiap senyuman pasti terdapat pesan. Ketika mata saling memberikan salam, hati membukakan jalan dan waktu mempertemukan. Disaat semua terasa indah, tak satupun kata rasa rusak dengan kata “tidak”, semua menjadi “iya” dan berkata “bisa”.
Dan saat rasa itu datang bersama dengan sejuta kata “tidak”-nya, dunia seolah terasa sepi. Semua pergi, menjauh, dan hilang. Kini hanya tinggal seorang diri. Dengan senyum yang tiada berepi.
Hanya yang benar-benar mencintai yang mampu bertahan. Semua yang bersembunyi dibalik batu adalah kawanan kepiting yang menjauhi ombak yang akan menghantam sang karang.